Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku
di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit
bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat
dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit
ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan
makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.
Ini anak saya yang belajar di Mesir;” katanya bangga. “Sudah empat tahun
tidak pulang.”
Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada
dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan
dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem,
istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem
orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.
Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah
kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak
menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawankawannya
yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di
pundak Mbah Joyo.
“Pak, kita beruntung ya,” katanya sambil mengelus rambut suaminya yang
putih bagai kapas. “Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi
muthawwif kita dan membimbing manasik kita.” Lalu ditujukan kepadaku,
“Bukan begitu, Nak Mus?”
Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
“Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana,”
katanya lagi. “Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo.
Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya
sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem.”
“Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah,” tukas ibuku. “Jadi di sini
pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini.”
“Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan
bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai
bahasa isyarat, kaya orang bisu.”
Orang-orang pada ketawa.
“Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita,” kata salah seorang
jamaah sambil menyodorkan segelas teh. “Terima kasih!” aku menyambut
teh panas yang disodorkan.
“Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?” tanya yang lain.
“Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain,” kataku, “tapi
tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari.”
“Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir,” kata
Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. “Kita punya pengawal
yang masih muda dan bisa berbahasa Arab.”
“Kamu ini bagaimana,” Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyumsenyum
tiba-tiba angkat bicara. “Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu
saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu.
Mereka pasti ingin berkangen-kangenan.”
“Ya, saya tahu,” sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. “Saya juga tidak
bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut
bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja.”
“Enak saja!”
“Sudah, sudah,” kata ibuku memotong. “Sudah jam setengah sebelas. Ayo
kita siap-siap ke masjid!”
***
Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu.
Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi
seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan
Mbah Joyo –anggota rombongan yang paling tua– sedikit pun tidak
memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua
sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya,
saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu
luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan
panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada
hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan
putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan
bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu.
Dari kejauhan tampak “bukit manusia” dengan puncak sebuah tugu yang
juga berwarna putih. “Apakah itu Jabal Rahmah?”
“Ya, itulah Jabal Rahmah.”
“Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa
setelah mereka turun dari sorga?”
“Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya.”
“Apa kita akan ke sana?”
“Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang
penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih
khusyuk.”
Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa
kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan
itu.
“Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?”
“Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti
tomat kemerah-merahan.”
“Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!”
Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolaholah
komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja.
Tapi aku bicara juga. “Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di
padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada
kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada
bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang
terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungannaungan
lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai
pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia.”
Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin
mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga
terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai
datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk
acara salat bersama –Dhuhur dan Asar– dan melanjutkan ritual wukuf
dengan berdzikir dan berdoa.
Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga
akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan
Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah,
astaghfirullah… Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli
tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.
***
Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke
Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan
takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok
Yem dan Mbah Joyo.
Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlapkerlip
lampu tampak semakin memperindah panorama Masy’aril Haram. Bus
kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari
batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku
dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di
antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain
tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga
sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.
“Jangan jauh-jauh!” terdengar suara ketua rombongan memperingatkan.
Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka
sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya
pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau
mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.
Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku
dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut
membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan;
memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus –
orang Mesir– sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar.
Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para
penumpangnya menuju Mina.
Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang
sambil menggerutu, “Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya
kita kan menginap. Mengapa buru-buru?”
“Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut
terlambat sampai Mina,” aku mencoba menyabarkan si penggerutu.”Lagi
pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap.”
Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah,
terdengar Mbok Yem teriak histeris, “Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!”
Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok
Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit
memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku
mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.
“Tenanglah, Mbok Yem,” bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu.
“Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya.”
“Iya, Mbok,” adikku ikutan membujuk. “Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini
ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah.”
“Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan
menghubungi polisi atau petugas yang lain,” aku menimpali. “Mbah Joyo
pasti kembali bersama kita lagi.”
Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa
yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara
sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. “Mbah Joyo itu penyelamatku!”
desisnya berkali-kali.
Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang
mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil,
sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar
naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan
sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik
bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih
menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih
terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
***
Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok
Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami.
Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah
Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang
penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir,
dll).
Mbok Yem langsung menjerit, “Mbah Joyo!” dan menghambur serta memeluk
dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri
hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku
keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, “Alhamdulillaaaah!”
Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus,
dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.
“Sudah dulu, Mbok Yem,” tegur ketua rombongan, “nanti dilanjutkan kangenkangenannya.
Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu.” Kemudian kepada Mbah
Joyo, “Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?”
“Iya, Mbah,” sela yang lain, “Sampeyan salah masuk bus ya?!”
“Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?”
tanya yang lain lagi.
“Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?”
Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. “Lihat, kan saya sudah pakai
piyama!” Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.
“Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang
muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus
sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya.
Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu
juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya
saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya
tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan
dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi.
Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi
kalian akan datang. Dan ternyata dia benar.”
“Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?”
“Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu
langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi,
saya lupa menanyakan nama dan asalnya.”
“Ajaib!”
***
Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan
lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara
ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar
dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. “Mumpung Mbah
Joyo tidur,” katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil
tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua akhirnya
terduduk juga.
Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan
anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia
menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di
Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS –sekarang “diperhalus”
istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial– dan Mbah Joyo adalah
“langganan”-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari
kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo
memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah
Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan
membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan
mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup
tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai
keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni,
apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah,
dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak
ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang
mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.
“Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,” kata Mbok Yem
mengakhiri ceritanya. “Sehingga kami berdua masih berkesempatan
menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah
selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami
kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.”
Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan
dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku. ***
Karya : KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)
0 komentar:
Posting Komentar